Contoh studi kasus: Jangan Segel
(Lagi) Sekolah Kami (Kedungdung, Sampang)
Salah
satu penunjang kegiatan belajar mengajar bagi siswa sekolah adalah tersedianya
sarana prasarana yang memadai seperti gedung sekolah. Tak dapat dibayangkan
bagaimana jika proses belajar mengajar berjalan tanpa adanya gedung dan ruangan
kelas, sebagaimana biasanya sebuah lembaga pendidikan?
Potret
Buram Dunia Pendidikan Kita
Tapi
itulah yang kerap terjadi di banyak daerah di negeri kita.Penyebabnya
bermacam-macam.Dari yang karena kondisi bangunan gedung sekolah yang tak
memadai hingga yang karena bangunan sekolah disegel ahli waris pemilik tanah
areal sekolah akibat sengketa lahan.Akhirnya para siswa pun terlantar tak bisa
belajar.
Itulah
fakta sangat ironis di tengah klaim pemerintah tentang keberhasilan pembangunan
di sektor pendidikan. Lebih tragisnya lagi, kejadian semacam itu tak hanya
terjadi di wilayah-wilayah pelosok desa, namun juga di kota-kota besar yang
informasi tentangnya relatif gampang diakses dan dari sisi tempat pun sangat
mudah dijangkau para pihak terkait, dalam hal ini pemerintah daerah dan lebih
khusus lagi dinas pendidikan setempat. Bahkan tak hanya terjadi pada
sekolah-sekolah swasta, namun sebagian besar juga menimpa sekolah-sekolah
negeri, baik tingkat SD, SMP, hingga SMA.
Dimana
saja kejadian penyegelan gedung sekolah itu terjadi? Sampai kapan akan ada
solusi komprehensif dari pemerintah pusat agar kejadian memalukan dunia
pendidikan di negeri kita itu dari tahun ke tahun tak selalu berulang? Berikut ini kami sajikan di antaranya.
Kedungdung, Sampang
Bangunan SDN (Sekolah Dasar Negeri) Rohayu 2 yang terdapat di Desa
Rohayu Kecamatan Kedungdung Kabupaten Sampang dirusak warga.Akibatnya, siswa
menjadi terlantar karena tak lagi memiliki tempat belajar untuk menampung
mereka.Sementara kegiatan belajar para siswa
tersebut ditampung di sebuah rumah seorang warga setempat yang bernama Mbah
Lipah yang lokasinya tak jauh dari bekas bangunan sekolah SDN Rohayu 2.Janda
yang dalam kesehariannya hanya tinggal seorang diri di rumah tersebut merelakan
rumahnya dijadikan tempat belajar para murid sekolah, bahkan dia mengaku sangat
senang karena rumahnya tak lagi sepi seperti biasanya.
“Saya
senang dapat menolong mereka, semua saya ikhlaskan sebagai bekal setelah saya
mati nanti,” ungkapnya tulus.Sementara Suprayitno Kepala SDN Rohayu tersebut
mengungkapkan, “Kami sudah membeli tanah seluas 20 x 25 meter milik Haji Seini
seharga 14 juta rupiah dengan cara dicicil dan untuk membayar tanah tersebut
kami memakai dana sisa dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah), sedangkan biaya
untuk pembangunan gedung sekolah baru, kami menunggu dana DAK (Dana Alokasi
Khusus) dari bantuan pemerintah yang rencananya akan direalisasikan pada bulan
Juni dan kami sudah mengusulkan kepada pemerintah seorang penjaga sekolah untuk
mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang tidak kami inginkan yaitu anak dari
Bapak Haji Seini dan sekaligus kami jadikan tenaga pesuruh,” jelasnya.
Ditanya
perihal pengrusakan sekolah tersebut Suprayitno mengaku tidak tahu persis modus
operandinya, “Saya hanya menjalankan tugas di sini, sedangkan tempat tinggal
saya di Omben, jadi saya tidak tahu persis kejadiannya, setelah saya sampai di
sekolah jam 7 pagi, tiba-tiba saya lihat bangunan sekolah sudah rata dengan
tanah.Saya terkejut, karena tidak ada sisa bangunan sama sekali, asbes (atap),
kayu, batu bata sampai besi penopang asbesnya sudah hilang dijarah, jadi setahu
saya bangunan tersebut sudah tidak ada sisanya,” tambahnya dengan nada kecewa.
“Sebenarnya di tahun 2011 kemarin sekolah kami
mendapatkan bantuan dana DAK dari pemerintah, untuk membangun gedung baru tapi
hanya 1 lokal, sedangkan gedung sekolah kami 3 lokal yang semuanya rusak parah
dan kondisinya hampir rubuh. Tapi pihak ahli waris melarang untuk dibangun
sebelum kasus sengketa tanah tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebagaimana
persyaratan yang diajukan, sehingga rencana pembangunan gedung tersebut
dibatalkan, dan dialihkan ke lembaga lain,” kata Kepala Sekolah yang sebentar
lagi pensiun ini.
SDN
Rohayu 2 memiliki siswa sebanyak 103 dan tenaga pengajar 9 orang yang terdiri
dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) 6 orang dan Tenaga Sukarelawan 3 orang, dan
sekolah tersebut awalnya berdiri di atas tanah seluas 15 x 9 meter yang diakui
milik Rohmah yang merupakan cucu dari Kepala Desa terdahulu.
Hal
ini ditanggapi oleh Farid Budi Setiawan salah seorang aktifis LSM Bongkar,
menurutnya kasus SDN Rohayu 2 merupakan segelintir kasus tentang sengketa tanah
yang terjadi di Kabupaten Sampang khususnya Kecamatan Kedungdung, sementara
dari 52 lembaga SDN yang ada, hanya 5 lembaga yang
tanahnya bersertifikat, sementara sisanya masih atas nama pemilik perorangan.
“Memang
sebagian sudah ada ikatan perjanjian antara pihak sekolah dalam hal ini pihak
Dinas Pendidikan dengan pemilik tanah, asalkan tenaga pesuruh atau penjaga
sekolah tersebut berasal dari pihak keluarga dan diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS), maka pihaknya tidak akan mempermasalahkan perihal tanah
tersebut,” ungkapnya.Ia juga mengungkaplkan seharusnya pemerintah melalui dinas
terkait punya tanggapan serius terhadap masalah ini.“Jika dibiarkan
berlarut-larut tanpa adanya solusi ataupun penyelesaian secara serius maka yang
akan menjadi korban adalah siswa yang tak berdosa, dan kasus tanah sengketa di
sekolah-sekolah akan menjadi bom waktu yang mana pada suatu saat nanti akan
bergejolak,” tanggapnya.
Sementara
Fauzan, seorang aktifis Yabina Darling (Yayasan Bina Sadar Lingkungan)
mengatakan, “Selama ini di Kabupaten Sampang banyak terjadi kasus sengketa
tanah sekolah yang berbuntut pada penyegelan oleh si pemilik tanah, dan bukan
hal yang tidak mungkin kemudian hari akan muncul lagi kasus-kasus seperti ini,
karena masyarakat sekarang sudah tidak bisa dibohongi dan dibodohi lagi.”
Salah
satu contoh kasus sengketa tanah sekolah adalah SDN Pangelen 1 Desa Pangelen
Kecamatan Sampang, hingga saat ini gedung sekolah tersebut masih disegel oleh
pihak ahli waris yang bernama Albiyah, kemudian SDN Rapa Laok 1 Desa Rapa Laok
Kecamatan Omben yang terjadi pada awal 2012 lalu, SDN Pangerreman Kecamatan
Ketapang, dan banyak lagi SD yang lainnya. Menurutnya hal tersebut merupakan
kesalahan pemerintah dimasa lalu.
Kepala
Dinas Pendidikan Heri Purnomo melalui Kepala Bidang Tendik (Tenaga Pendidik dan
Pendidikan) Sumadi, menjelaskan tentang pembebasan tanah.
“Kalau
tidak ada masalah kenapa kami harus membebaskan dari mana kami mendapatkan
dananya, sedangkan pemerintah tidak ada program untuk pembebasan tanah
sekolah,” ungkapnya.
Analisis kelompok :
Menurut
informasi warga sekitar yang kami ambil dari internet “Sebenarnya pihak pemilik tanah tidak
keberatan atas bangunan SD ini, asalkan apabila sekolah dapat bantuan
pembangunan gedung, dia (ahli waris) yang akan mengerjakan nantinya, dan permintaannya
apabila setiap kali sekolah mendapat rehabilitasi ataupun bangun gedung baru,
sampai kapanpun dia yang akan mengerjakan, Selain itu Permasalahan lain juga
seperti perjanjian sebagian sudah ada ikatan perjanjian antara pihak sekolah
dalam hal ini pihak Dinas Pendidikan dengan pemilik tanah, asalkan tenaga
pesuruh atau penjaga sekolah tersebut berasal dari pihak keluarga dan diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka pihaknya tidak akan mempermasalahkan
perihal tanah tersebut,” ungkapnya.
Jika dikaji dari sudut pandang hukum adminstrasi Negara
maka kasus ini masuk dalam hukum perdata. Dapa diselesaikan melalui :
I. Melalui
Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi
adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa
Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas
terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau
pemerintah sendiri.
Bentuk upaya
administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
II. Melalui
Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi,
maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Subjek atau
pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
- Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
- Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Namun
pasti banyak kendala bagi pihak sekolah dalam menyelsaikan kasus ini, seharusnya
pemerintah melalui dinas terkait punya tanggapan serius terhadap masalah ini.“Jika
dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya solusi ataupun penyelesaian secara serius
maka yang akan menjadi korban adalah siswa yang tak berdosa, dan kasus tanah
sengketa di sekolah-sekolah akan menjadi bom waktu yang mana pada suatu saat
nanti akan bergejolak. Dan yang kita harapkan dari masalah kasus ini ialah
sifat sosial dari pemilik tanah atau
ahli waris untuk Mengikhlaskan sesuai dengan kesepakatan awal dari pemilik
tanah yang sebenarnya dan Pemerintahlah yang berperan sangat penting sebagai orang
ketiga atau Fasilitator untuk menengahi dan menyelesaikan masalah ini.
KESIMPULAN
Kalau
memang tanah tempat sekolah itu berdiri sudah dibeli kepada pemilik tanah,
kenapa tidak ada surat ataupun akte jual belinya atau jika memang tanah tersebut
dihibahkan kenapa tidak ada surat hibahnya, seandainya ada perjanjian hitam
diatas putih, mungkin masalah ini tidak akan timbul dikemudian hari. Yang
terjadi selama ini setelah orang yang dulu menjual atau yang menghibahkan tanah
tersebut meninggal, maka ahli waris dari yang bersangkutan akan menuntut tanah
tersebut karena surat tanah yang ada masih atas nama pemilik yang punya tanah
atau ahli warisnya.